The Inspiring Quote

"Apabila engkau merasa letih karena berbuat kebaikan, maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang dan kebaikan akan terus kekal.
Sekiranya engkau bersenang-senang dengan dosa, maka sesungguhnya kesenangan itu akan hilang dan dosa yang dilakukan akan terus kekal."
(Umar bin Al-Khathab)

Thursday, February 7, 2013

Berdamailah dengan logika...


Disaat benih bayi yang sangat mungil ditiupkan ruh ke dalam raganya, maka Allah telah menyiapkan sebuah buku nasib yang berisikan rangkaian cerita yang akan dijalani sepanjang hidupnya kelak. Tidak ada yang bisa mengubah, selain dengan bantuan Allah SWT sendiri. Dan itu lah garis hidup tiap manusia, yang akan berjalan sesuai dengan episode-episode cerita dalam buku nasib yang ditetapkan untuknya. Dari sana pula Allah memberikan ujian-ujian kecil, dimana dia meminta kita untuk menghadapi dan mencoba memecahkannya dengan sabar dan tawakkal, dimana ujian –ujian tersebut menjadi penentu apakah kita layak untuk naik kelas pada jenjang selanjutnya. Disinilah kita diminta untuk dapat menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya, agar suatu hari kita mampu menjadi kandidat-kandidat pilihan Allah yang berkualitas.


Kadang didalam buku tercatat suatu cerita yang membelokkan kita dari norma dan logika yang membuat kita terjebak dalam episode yang memabukkan. Sejenak kita menjadi sosok egois dan berpola tak perduli. Kita teriming-imingi oleh kebahagiaan hidup yang membuat kita percaya, bahwa takdir kita memang cukup sampai dalam keadaan indah seperti itu. Kau tahu kenapa? Karena Allah telah mengaruniakan sebongkah hati yang merdeka untuk merasakan segala hal yang kita hadapi. Tapi disisi lain, Allah juga mengaruniakan sebuah akal untuk berpikir pada tiap hal yang disajikan-Nya. 


Sebenarnya aku tak mengerti apa maksud dan tujuanku merangkai kata-kata ini. Tapi sebuah curahan hati temanku membuatku sejenak merasa berempati, hingga tak terasa terenyuh dalam buraian air mata simpati. Betapa hidup ini menguraikan berbagai ragam cerita yang harus dijadikan pelajaran bagi kita sebagai hamba-Nya.


Hati yang merdeka yang kita miliki ditetapkan untuk berhak mencintai atau membenci siapa pun. Ada kalanya hati dan akal sejalan, tapi ada kalanya juga bertentangan. Dan saat bertentangan itu lah kita diuji bagaimana cara keluar dari keterjebakan yang berkepanjangan, karena jika hati dan akal tak sejalan, dapat membuat beban yang menghimpit dan rentan akan keputusasaan dan kekecewaan. Bahkan kita sibuk menyalahkan keadaan dan hal-hal sekeliling kita yang sama sekali tidak berkontribusi dalam membahagiakan kehidupan kita sebagai manusia. Kita lebih terfokus bahwa kita ingin bahagia sebagaimana orang lain, tapi terkadang kita sedikit alpa untuk menoleh sejenak apakah orang-orang yang menyayangi kita dan kita sayangi menangis kecewa untuk tiap pilihan yang kita buat.


Yah, setiap keputusan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang harus kita pikirkan matang-matang. Semua orang, bahkan diriku sendiri berpegang bahwa setiap manusia berhak untuk dicinta mencintai. Tapi kadang azaz tersebut hanya berlaku pada hubungan dua pasang manusia yang sedang kasmaran. Padahal azaz tersebut berlaku juga untuk anak-anak dan orang tua yang melahirkan kita. Karena sebenarnya, cinta itu universal. Dan kala kita terjebak dalam ujian seperti itu, cobalah untuk berdamai dengan logika, dan carilah cara terbaik agar wajah orang-orang yang selalu mengasihi dan mendoakan kita dalam kebaikan, berhiaskan senyum kebahagiaan pada akhirnya. Meski sulit, pasti Allah telah menyiapkan cara, selama kita tak pernah menyerah untuk berusaha. Semangat! :)

Readmore »»

Tuesday, February 5, 2013

"Cumiku Sayang Cumiku Malang"


Ceritanya Sabtu kemaren temanya weekend, nih. Tiba-tiba muncul inspirasi untuk masakin keluarga kecilku masakan ekstra cepat seperti biasanya, tapi dengan menu yang tidak biasanya dibikin.
“Yuuuur….!”, jam tujuh lewat seperti biasa mamang sayur lewat meneriakkan yel-yel khasnya buat menghipnotis para ibu-ibu mendekat. Tak ayal lagi, aku yang masih berpakaian santai ala rumahan langsung ganti jubah kebesaran yang selalu tergantung dibalik pintu. Tugasnya pun dalam membalut badanku hanya hitungan puluhan menit, alias buat beli sayur atau ke warung doang. Makanya tuh baju berpredikat ‘Anti Cuci’… :D
“Trap…trap…trap…!”, dengan semangat kudatangi mamang sayur buat searching apa kira-kira yang ingin kubikin hari ini. Setengah ling lung, akhirnya aku pilih cumi untuk uji coba hari ini. Pengen bikin pindang cumi seperti buatan mamaku, tapi rasanya malu harus investigasi mama lagi tiap mau masak cumi. Maklum, masak cumi itu terjadi ratusan tahun yang lalu… Twewew!
“Aha…!”, sebuah ide terlintas dibenakku, “Mang, tunggu disini! Jangan pergi dulu!”, pintaku dengan nada mengancam sambil berlari masuk ke dalam rumah dengan tergopoh-gopoh. Untung masih ada netbook yang menyala sejak dipake anakku tadi malem. “tik…tik…tik…!”, kuketikkan kata ‘Pindang Cumi’ di sebuah search engine untuk mencari petunjuk resep praktis memasak cumi yang ingin kubeli. Setelah kudapat yang kuinginkan, kubaca sekilas tapi tak begitu menyimak dengan seksama. Clue-nya yang penting, bumbunya tidak terlalu njlimet.
Walhasil, cumi setengah kilo kubeli dengan bumbu dapur seadanya plus tempe yang siap jadi pengganti menu apabila si Pindang Cumi mendapatkan hasil akhir yang gagal. Narasi Pindang Cumi yang tadi tersaji dilayar netbook-ku tidak terperdulikan lagi. Pokoknya, lagi semangat aja ceritanya.
Sekarang kita masuk ke panggung kedua, alias dapur asal-asalanku. Berhubung dua anakku dah pada sekolah, de’ Acil sedang tertidur pulas dan ayahnya bersiap akan pergi ritual belajar mengajar di suatu kampus, maka aku pun siap untuk berjuang mati-matian dalam drama pembantaian cumi disini. Sorry, kalo cerita gak di-upgrade dengan makna yang ditinggikan setinggi-tingginya, tidak akan seru… :D
Setelah tulang cumi kucabut dengan penuh kasih sayang, maka dengan penuh keikhlasan pula tiap cumi kupotong menjadi tiga bagian. Kucuci bersih dan kusiapkan dalam suatu wadah. Tiba-tiba mataku melihat sebuah jeruk nipis yang menggodaku untuk membelahnya. Adegan pertama nalarku mengubah narasi resep yang tadi sempat kubaca, hanya karena pemikiranku ingat pada acara-acara yang masak yang sering ditayangkan ditelevisi, bahwa jeruk nipis akan menghilangkan aroma amis pada hewan-hewan air yang akan dimasak. Maka, terjadilah pelencengan jalan cerita. Potongan cumi yang terkapar itu kusirami dengan perasan jeruk nipis. “Semoga nanti tidak ada rasa yang berubah,” ujarku dengan H2C alias harap-harap cemas.

Sepengingatanku…hm aku suka dengan kosa kata ini, meski pastinya gak termasuk dalam hukum eyd…aku harus ulek bawang merah dan bawang putih. Tapiiiiii….aku lupa beli bawang putih, gimana dong? Ah, what ever-lah, tak ada bawang putih, bawang merah pun bisa mandiri dalam memberi cita rasa. Yuk mari! Akhirnya, teruleklah si bawang merah hingga membuatku menitikkan air mata haru, lalu kucemplungkan seujung jari kunyit agar sang bawang tidak kesepian.
Serentak kulirik bumbu dapur yang tersisa, aku ingat bahwa bumbu ulek harus ditumis daun jeruk dan lengkuas yang dimemarkan. Ah, aku ingat petuah mama kalo masakan itu akan enak jika dimasukan unsur jahe didalamnya. “Hm, mengapa tidak…”, seringaiku penuh arti. Maka bumbu ulekan pun semakin membias dari resep yang sebenarnya.
Sekarang adegan terakhir dalam acara cumi-cumian ini. Wajan kupanaskan dengan menuangkan sedikit minyak sayur untuk menumis. “Trap!”, bumbu ulekpun menjadi pioneer nyemplung didalam minyak panas. Setelah dioseng-oseng agak lama dan aroma wanginya mulai terasa, daun jeruk dan lengkuas pun menyusul dengan gembira. Hingga akhirnya pelaku utama ikut terjun dalam berkorban, si cumi-cumi jeruk. Dan sebagai pelengkapnya, semangkok air, garam dan penyedap rasa ikut mewarnai warna-warni hidup.

Tapi rasanya kurang seru kalo ga ada sambel kebesaran hari ini. Yuk, kita petik cabe, iris tomat, dan siapkan terasi untuk digoreng sebentar sembari menunggu cuminya mateng. “Gujlek…gujlek…gujlek…!” dalam hitungan menit sambel penambah nafsu makan pun tersedia dengan sukses. Dibarengi Pindang Cumi ala Ms. Ntha…hohohoho. Tempenya tidak usah di-follow up dulu. Kalo testimoni sang pindang memuaskan, si Tempe bisa berguna untuk nanti sore.
Untuk tester pertama, Acil yang tadinya sudah bangun dan nonton TV kupanggil. Tanpa ba bi bu, sepotong cumi yang sudah kudinginkan kujejalkan kemulutnya agar dia tak melihat. Karena yang kutahu dia paling anti makan cumi kalo kita beli menu itu dari warung makan. Wuah…matanya mengerjap keenakan. Seperti biasa dia selalu bilang untuk tiap masakan yang kubikin, “Mama, besok masak itu lagi, yah. Atil suka”. Alhamdulillah, itu pertanda bagus untuk selera makan siang ini.

 Dan ternyata benar saudara-saudara…setelah anak-anakku sudah berkumpul semua, semuanya kasih jempol untuk Pindang Cumi-ku. Bahkan kaka Ota yang selalu bilang anti makan cumi pun tidak berkutik untuk minta lagi dan minta lagi. Apalagi kaka Awa, tak terhitung lagi berapa kali dia mencuri kesempatan ke dapur hanya untuk mencicipi kuah cumi yang terpajang didalam panci diatas kompor. Walhasil, hari ini satu kilo beras yang kumasak langsung amblas tak bersisa.
Cumaaaaa, suamiku yang biasanya doyan cumi merasa aneh dengan masakanku kali ini. Padahal biasanya dia selalu tanpa komentar tiap makan masakanku. Ternyata, dia tahu ada bumbu yang seharusnya tidak masuk dalam resep tercantum ditayangan edisi cumiku kali ini. Hahahaha….ga pa pa lah. Kasih komentar, tapi makannya nambah juga, toh… :D
Finally, begitulah akhir cerita dongeng Cumi ala Ms. Ntha kali ini. Jika suatu pekerjaan dilaksanakan secara ikhlas dan gak neko-neko, insya Allah hasil akhirnya pasti memuaskan. Hm, kira-kira weekend ini aku kerasukan jin masak lagi, kah….?We'll see... ;)

Readmore »»

Belajar Mawas Diri....


Beberapa hari yang lalu aku menyempatkan waktu menghadiri acara Maulud Nabi di masjid perumahan. Otomatis Conversation Class malem Minggu kuliburkan. Diacara itu ada serangkai kata yang diucapkan bapak ustadz dalam ceramahnya yang seharusnya disimpan dan dijadikan pelajaran berharga, yaitu “Barang siapa yang membuka aib dan mempermalukan saudaranya, maka anak keturunannya akan merasakan hal yang sama”. Bergidik juga mendengarkan kata-kata tersebut. Bayangkan, hanya karena mulut yang tak dapat terjaga, maka anak keturunan kita yang akan mempertanggungjawabkan di masa yang akan datang.
Kadang tanpa disadari, seseorang senang sekali menceritakan aib orang lain hingga hal yang sedetil-detilnya. Bahkan dalam dunia artis, aib itu adalah komoditi utama yang paling digemari pemirsa, hingga menjadi pergunjingan dari mulut ke mulut yang dapat memberi kepuasan bagi yang bercerita dan yang mendengar. Terlebih lagi jika cerita itu dibumbui hal-hal yang lebih bombastis, pasti akan semakin seru untuk terlena dalam menilai orang lain. Keasyikan tersebut menghapuskan logika bahwa manusia itu tidak pernah luput dari salah dan dosa untuk objek yang dibicarakan, maupun sang pembicara dan pendengar itu sendiri. Tapi jika sudah kadung menyenangkan, maka sang pembicara akan menempatkan diri sebagai orang yang sempurna tanpa cela dimuka bumi.

Lalu bagaimana jika aib tersebut menimpa pada anak cucu kita, dan kita tak dapat berbuat apa-apa untuk menutup mulut-mulut orang yang bergunjing atas anak cucu kita. Rasanya tidak adil jika perbuatan kita berefek negatif bagi keluarga kita yang tidak ikut melakukannya. Mungkin tidak menjadi masalah jika kita yang terkena dampaknya, karena berarti kita memetik karma kita sendiri. Tapi jika karma tersebut harus dituai oleh generasi penerus kita, rasanya hal ini menjadi tidak adil.
Saat ini, hidup bersosialisasi kadang menjadi kebablasan. Mulut-mulut pun sering bernyanyi secara bablas dalam membicarakan urusan orang lain. Yang ada menjadi lebih dihiperbola, dan yang tidak ada dikemas menjadi ada, lalu ditimpali. Padahal, sebenarnya tidak ada yang salah dengan bersosialisasi jika tidak keluar dari koridor yang seharusnya. Hanya satu faktor yang membuat sosialisasi itu menjadi menjengahkan, adalah mulut-mulut yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Cara terbaik untuk mengerem lidah didalam mulut kita untuk tidak menyanyi mendendangkan keburukan orang lain adalah dengan berkaca dan mawas diri. Lihat diri kita terlebih dahulu sebelum akhirnya kita harus menilai orang lain. Sudah benar-benar sempurna lahir batin kah diri kita dari segala hal yang diciptakan Allah SWT di muka bumi ini. Jika belum, maka berdiam dirilah. Saat bersosialisasi, berbicara lah hal-hal yang bermanfaat. Tak perlu ada distorsi topik untuk membicarakan orang ketiga yang bisa mengarah pada pergunjingan yang mengasyikkan untuk dibahas. Ingatlah, jika karma tidak mampir kepada kita, maka hal tersebut akan menanti pada anak cucu kita kelak. Jangan biarkan mereka bertanggung jawab untuk kekhilafan kita sendiri. Yuk, belajar mawas diri… J
Readmore »»

Popular Posts

Pages