Beberapa hari yang lalu aku
menyempatkan waktu menghadiri acara Maulud Nabi di masjid perumahan. Otomatis
Conversation Class malem Minggu kuliburkan. Diacara itu ada serangkai kata yang
diucapkan bapak ustadz dalam ceramahnya yang seharusnya disimpan dan dijadikan
pelajaran berharga, yaitu “Barang siapa yang membuka aib dan mempermalukan
saudaranya, maka anak keturunannya akan merasakan hal yang sama”. Bergidik juga
mendengarkan kata-kata tersebut. Bayangkan, hanya karena mulut yang tak dapat
terjaga, maka anak keturunan kita yang akan mempertanggungjawabkan di masa yang
akan datang.
Kadang tanpa disadari, seseorang
senang sekali menceritakan aib orang lain hingga hal yang sedetil-detilnya. Bahkan
dalam dunia artis, aib itu adalah komoditi utama yang paling digemari pemirsa,
hingga menjadi pergunjingan dari mulut ke mulut yang dapat memberi kepuasan
bagi yang bercerita dan yang mendengar. Terlebih lagi jika cerita itu dibumbui
hal-hal yang lebih bombastis, pasti akan semakin seru untuk terlena dalam
menilai orang lain. Keasyikan tersebut menghapuskan logika bahwa manusia itu
tidak pernah luput dari salah dan dosa untuk objek yang dibicarakan, maupun
sang pembicara dan pendengar itu sendiri. Tapi jika sudah kadung menyenangkan,
maka sang pembicara akan menempatkan diri sebagai orang yang sempurna tanpa
cela dimuka bumi.
Lalu bagaimana jika aib tersebut
menimpa pada anak cucu kita, dan kita tak dapat berbuat apa-apa untuk menutup
mulut-mulut orang yang bergunjing atas anak cucu kita. Rasanya tidak adil jika
perbuatan kita berefek negatif bagi keluarga kita yang tidak ikut melakukannya.
Mungkin tidak menjadi masalah jika kita yang terkena dampaknya, karena berarti
kita memetik karma kita sendiri. Tapi jika karma tersebut harus dituai oleh
generasi penerus kita, rasanya hal ini menjadi tidak adil.
Saat ini, hidup bersosialisasi
kadang menjadi kebablasan. Mulut-mulut pun sering bernyanyi secara bablas dalam
membicarakan urusan orang lain. Yang ada menjadi lebih dihiperbola, dan yang tidak
ada dikemas menjadi ada, lalu ditimpali. Padahal, sebenarnya tidak ada yang
salah dengan bersosialisasi jika tidak keluar dari koridor yang seharusnya. Hanya
satu faktor yang membuat sosialisasi itu menjadi menjengahkan, adalah
mulut-mulut yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Cara terbaik untuk mengerem lidah
didalam mulut kita untuk tidak menyanyi mendendangkan keburukan orang lain
adalah dengan berkaca dan mawas diri. Lihat diri kita terlebih dahulu sebelum
akhirnya kita harus menilai orang lain. Sudah benar-benar sempurna lahir batin
kah diri kita dari segala hal yang diciptakan Allah SWT di muka bumi ini. Jika belum,
maka berdiam dirilah. Saat bersosialisasi, berbicara lah hal-hal yang
bermanfaat. Tak perlu ada distorsi topik untuk membicarakan orang ketiga yang
bisa mengarah pada pergunjingan yang mengasyikkan untuk dibahas. Ingatlah, jika
karma tidak mampir kepada kita, maka hal tersebut akan menanti pada anak cucu
kita kelak. Jangan biarkan mereka bertanggung jawab untuk kekhilafan kita
sendiri. Yuk, belajar mawas diri… J
No comments:
Post a Comment